Nama :
Moh. Nur Salim
NIM :
A02209016
Sem/ Jur :
VII/ SPI A
SANTRI
MA’HAD TAQWIMUL UMMAH (TAQUMA)
SETING
LOKASI
|
SUASANA
|
REFLEKSI
|
·
Jl.Jemur
Ngawinan no.54, Jemur Sari, Wonocolo Surabaya
·
Ma’had Taquma
·
Penelitian
mulai tanggal 6 Oktober- 27 September 2012
|
·
Santri di Ma’had
Taquma rata-rata terdiri dari mahasiswa, ada juga pekerja, dan sebagian telah
lulus kuliah. Mayoritas mahasiswa IAIN, tapi ada juga mahasiswa dari UNAIR,
STIS Jl. Andayani, Ma’had Aly Masjid Al Akbar Surabaya, dan Untag.
·
Ada cirik khas
di Ma’had ini yang lain dari pada yang lain. Kiyai pengasuh tidak hanya
memberi siraman Rohani tetapi juga siraman Jasmani.
·
Santri tidak
terorganisasi dengan baik. Tidak ada peraturan yang jelas.
·
Apabila shalat
Jama’ah di Masjid kebanyakn santri jadi makmun masbuk.
·
Santri kurang
menghormati Kiyai.
·
Jiwa budaya
kegotong- royongan ala pesantren yang
nyaris tidak terlihat.
|
·
Tidak ada
struktur Organisasi Pesantren yang jelas
·
Ketua Ma’had
hanya simbolis, tanpa peran yg berarti.
·
Kiyai
(Pengasuh pondok ) yang kurang karismatik
·
Tidak ada
Tokoh yang berwibawa dan berpengaruh dari santri.
·
Kesadaran
meninggalkan kebiasaan kurang baik dan memulai kebaikan harus dimulai dari
diri sendiri.
·
Sikap saling
hormat menghormati harus dipraktekan. Baik santri kepada Kiyai, atau
sebaliknya.
·
Komunikasi
antar Kiyai dan santri harusnya lebih intens.
|
Secara
umum, meneliti tidak sebatas menemukan dan membukukan informasi yang
berdasarkan fakta, tetapi juga mengeksplorasi opini, kebiasaan, dan anomali
yang tampak kemudian mengevaluasi dampaknya. Penelitian etnografis ini
merupakan tugas mata kuliah Etnografi yang dibebankan pada setiap mahasiswa
termasuk saya, dan ma’had Taqwimul Ummah
( Taquma ) adalah tempat yang saya pilih untuk penelitian tersebut.
Singkat cerita, saya sudah sekitar 1
tahun lebih nyantri di ma’had Taqwimul
Ummah ( Taquma ). Sekarang pun
saya masih berstatus santri di sana. Ada banyak hal yang menurut saya menarik
untuk diteliti, ada sesuatu yang lain dari pada yang lain di ma’had tersebut.
Sepertinya cocok untuk obyek belajar menjadi Etnografer.
Saya memang sudah akrab dengan
penghuni ma’had Taquma, sehingga budaya atau bahkan karakter para santri secara
tidak sengaja kuketahui. Tetapi, mengetahui budaya lebih jauh dan dengan
sengaja melakukan penelitian etnografi baru kumulai tanggal 6 Oktober- 27 September
2012.
Yayasan Taqwimul Ummah berlokasi di Jl.Jemur Ngawinan no.54, Jemur Sari,
Wonocolo Surabaya. Terdapat Sekolah Dasar yang cukup diminati dilingkungan
sekitar. Bisa dilihat dari jumlah murid SD yang kira- kira berjumlah hamper 400
an. Jika melihat SD Islam Swasta dengan murid sebanyak itu, maka bisa
diperkirakan sejarah besar ada di baliknya.
Terdapat masjid yang dinamakan Masjid Al
Jawahir. Merupakan pusat kegiatan santri, murid SD, dan para Jama’ah dari
penduduk sekitar. Bila kita berjalan ke Timur, dari pertigaan jl. A. Yani
jurusan rungkut, maka sekitar 100 an meter bila kita berkesempatan menoleh ke
kanan ( selatan ) maka kita akan melihat deretan tulisan SD Taqwimul Ummah
(TAQUMA ), MA’HAD TAQUMA, Masjid Al- Jawahir, dan di jembatan depan yayasan,
ada tulisan cukup mentereng “SUPERMARKET KAMBING “. Pengasuh yayasan adalah KH.
Abdul Cholik, anak beliau seorang pengusaha penjualan kambing yang letaknya
masih di kompleks yayasan. Jadi, jangan heran kalau aroma khas kambing tercium
oleh hidung.
Sedikit
sejarah Ma’had Taquma yang kuperoleh dari hasil wawancara. Ma’had Taquma ini
adalah salah satu pondok pesantren salaf tertua di Surabaya, bahkan dikatakan
lebih tua dari Pon. Pes Sidorosemo. Dengan sedikit berbangga, pemuda keturunan Ndalem ini ( Gus Arif ) berkata kalau
Ibu Khofifah pesaing Pak de Karwo dalam pilgub Jatim adalah alumni SD Taquma.
Memang tradisi NU sangat kental disini, bahkan diceritakan bahwa Gus Dur ketika
masih hidup sering mampir ke Ndalem pengasuh
Yayasan Taquma. Selain masih ada hubungan family, juga pastinya urusan politik.
KH. Mbah Jawahir dikisahkan sebagi tokoh yang
bersejarah hingga digunakan untuk nama masjid. Konon beliaulah perintis
pendidikan Islam di Jemur Ngawinan. Tidak ada yang tau persis kapan Ma’had
Taquma berdiri, tetapi yang jelas hampir setua Masjid Jawahir yang dulunya
surau ( Musholla ) yang terus mengalami renovasi dalam sejarah perkembangannya.
Sedangkan SD nya berdiri tahun 1978. Bangunan pondok Taquma memang menyatu
dengan masjid, berada di sebelah barat masjid. Terdiri dari 2 kamar berukuran
sekitar 18 m x 7 m. Sedangkan disampingnya lagi ada 2 bangunan pondok berukuran sekitar 7 x 7 m yang proyek
pengerjaannya masih tertunda. Jumlah santri saat ini hanya berjumlah 20 orang
termasuk saya. Dua orang lulusan S2, 4 orang lulusan S1, dan sisanya masih kuliah
S1 dan sisanya lagi para pekerja pabrik dan restoran. Mayoritas memang
mahasiswa IAIN, sebagian lainnya UNAIR, STIS Jl. Andayani, Ma’had Aly Masjid Al
Akbar Surabaya, Untag dan ada juga yang berstatus bukan mahasiswa, yakni
bekerja.
Waktunya
saya bercerita tentang tradisi para santri di ma’had kecil ini. Ada banyak
cerita, tetapi saya orangnnya malas mengetik. Kegiatan santri mulai Sholat
jama’ah Shubuh sampai Shubuh lagi hampir sama dengan pondok mahasiswa di
Surabaya pada umumnya. Ngaji kitab kuning pada hari Senin- Kamis ba’da jama’ah
Magrib dan Shubuh oleh seorang Ustadz. Tetapi yang menjadi cirri khas di
pon.pes Taquma adalah tidak hanya memberikan siraman Rohani tetapi juga siraman
Jasmani. Jika ada razia, bagi santri yang molor saat Sholat berjama’ah akan
disiram segayung air dari tempat wudhu. Pengasuh yayasan sekaligus Imam Masjid
ini punya cara yang khas untuk mendidik santrinya. Beliau selalu masuk kamar
dengan se bak air dan gayung. Sehingga ada sebutan geng Guyang ( Kelompok anak
langanan kena siram ),beruntung saya adalah salah satunya. Santri di sana
terjangkit budaya yang kurang baik, di antaranya selalu terlambat Sholat
berjamaah, apabila dengar iqomat baru ambil air wudhu, hanya Affan si Rois
Santri saja yang wudhu setelah adzan. Tidak ada yang mau bersih- bersih pondok,
jadwal kebersihan hanya hiasan dinding. Jika hari minggu baru setelah dapat
tekanan dari Rois beberapa santri mau bersih- bersih, sebagian yang merasa
senior tetep lanjut molor. Bisa dibayangkan kumuhnya pondok. Selalu terlambat
bayar SPP, tapi tak pernah terlambat untuk beli rokok dan kopi.
Pesantren
punya budaya khas, faktanya di mana- mana pesantren di Indonesia pengasuh
pondok ( Kiyai ) punya otoritas yang kuat. Bahkan, karismanya mengalahkan
Presiden. Akan tetapi fakta itu tidak berlaku di Ma’had Taquma. Kiyai justru
jadi bahan rasan- rasanan santrinya. Dari hasil dialog dengan Affan (
Rois Santri ), KH. Abdul Cholik bukanlah putra Mahkota dari Raja ( Kiyai )
sebelumnya. KH. Idris ( Almarhum) adalah pengasuh Ma’had Taquma yang ‘Alim dan
disegani. Banyak pihak berharap Ust. Fasih ( Ustadz pengajar kitab kuning
setelah Magrib dan Shubuh) yang merupakan putra beliau maju mengantikan Ayahnya
memimpin Yayasan. Akan tetapi, KH. Abdul Cholik yang berkecimpung di dunia
politik dan kurang basic dalam hal keagamaan menurut banyak versi melakukan “kudeta”
terhadap saudaranya KH. Idris. Inilah saya kira hal yang mendasari kepemimpinan
KH. Cholik penuh dengan kontroversi, meskipun ada juga oknum yang pro.
Hasil
wawancara dengan para santri, saya dapat menyimpulkan bahwa alasan mereka
memilih mondok di Ma’had Taquma adalah karena biayanya yang super murah, bahkan
bisa ngutang. Bayangkan saja, tidak ada pungutan apapun, kecuali iuran listrik
perorang 10 ribu saja perbulan. Ngaji kitab kuning pun banyak yang tidak beli
kitab. Kiyai tidak mengajar ngaji, tapi mewajibkan Istighosah, dziba’an,
tahlilan dan dzikir- dzikir yang panjang dan melelahkan. Sebagai contoh,
sebulan sekali dalam bulan tahun Hijriyah ada rutinitas malam 11 an. Lamanya
Istighosah mulai ba’da Isyak sampai jam 9 an lebih. Sepertinya Kiyai tidak
punya standar dalam mengasuh santri seperti yang dituduhkan para santrinya
sendiri yang mayoritas mahasiswa IAIN jebolan pesantren semasa sekolah setingkat
SMA. Kiyai ( H. Kholik ) punya cara yang kontroversi dalam membangunankan
santri untuk shalat Jama’ah. Pada saat adzan dikumandangkan, jika ada santri
yang belum bangun dari tidur maka akan disiram dengan segayung air hingga basah
kuyup. Sebenarnya banyak yang tidak suka dengan cara ini. Dari surve yang
kuperoleh mereka rela disiram jika tidak ikut jama’ah karena tidur, tetapi jika
baru adzan kenapa disiram. Alangkah baiknya jika dibangunkan denagn cara halus,
tetapi jika tetap tidak mengindahkan dan tetap tidur lagi tanpa ikut shalat
berjama’ah maka disiram bukanlah masalah, kata Zubair Mahasiswa akhir di Ma’had
Aly Masjid al Akbar Surabaya.
Beginilah
data yang kuperoleh. Para santri Ma’had Taquma tidak menghormati Kiyai,
akibatnya mereka malas mengikuti kegiatan yang diwajibkan. Struktur
kepengurusan pesantren yang tidak jelas juga menjadikan santri tidak
terorganisasi dengan baik. Kurangnya komunikasi antara Kiyai dan Santri juga
membuat masalah tetap sulit terselesaikan. Sebagai etnografer saya berusaha
untuk obyektif, tetapi pastinya tetap tidak bisa bersih dari subyektifitas.
Apalagi yang saya teliti adalah masyarakat yang saya sendiri ada di dalamnya.
Tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam tulisan ini. Akhirnya saya
mohon maaf dan terima kasih kepada Bapak Dr. Nur fuad telah bersedia membacanya.